TUGAS MAKALAH FARMAKOLOGI
OBAT ANTIHISTAMIN

Disusun Oleh :
1.
Dimas Soekma
Putra (A11112282)
2.
Dina Ayu Fitriana (A11112283)
3.
Eka Yuliani (A11112284)
4.
Endah Sri Rejeki (A11112286)
5.
Erwin Adi Nugroho (A11112287)
6.
Ike Yuliana (A11112288)
PRODI DIII REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
POLTEKKKES BHAKTI MULIA
2013
OBAT ANTIHISTAMIN
A.
PENGERTIAN
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau
menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –
histamine (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu tipe
antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun
1972, yang disebut reseptor-H2, maka secara farmakologi reseptor histamin dapat
dibagi dalam dua tipe, yaitu reseptor-H1 dan reseptor-H2.
Berdasarkan
penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni
antagonis reseptor-H1 (singkatnya disebut H1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam.
1.
H1-blockers (antihistaminika
klasik)
Mengantagonir histamin dengan jalan memblok
reseptor-H1 di otot licin dari dinding pembuluh,bronchi dan saluran
cerna,kandung kemih dan rahim. Begitu pula melawan efek histamine di kapiler
dan ujung saraf (gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistmin
tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi Dahulu antihistamin dibagi
secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2
kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni zat-zat generasi ke-1 dan
ke-2.
a.
Obat generasi ke-1: prometazin,
oksomemazin, tripelennamin, (klor) feniramin, difenhidramin, klemastin
(Tavegil), siproheptadin (periactin), azelastin (Allergodil), sinarizin,
meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen), dan oksatomida (Tinset). Obat-obat
ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek
antikolinergis.
b.
Obat generasi ke-2: astemizol,
terfenadin, dan fexofenadin, akrivastin (Semprex), setirizin, loratidin,
levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat- zat ini bersifat khasiat
antihistamin hidrofil dan sukar mencapai CCS (Cairan Cerebrospinal), maka pada
dosis terapeutis tidak bekerja sedative. Keuntungan lainnya adalah plasma t⅟2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali
sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan, juga berkat dayanya menghambat
sintesis mediator-radang, seperti prostaglandin, leukotrin dan kinin.
2.
H2-blockers (Penghambat asma)
Obat-obat ini menghambat secara efektif
sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamine, dengan jalan persaingan
terhadap reseptor-H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam
klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini
banyak digunakan pada terapi tukak lambug usus guna mengurangi sekresi HCl dan
pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida.
Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator motilitas lambung
(cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat asam yang dewasa ini banyak
digunakan adalah simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin dan roksatidin
yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin.
B.
PENGGUNAAN UMUM
Menghilangkan gejala yang behubungan
dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria dan angiodema, dan sebagai terapi
adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa antihistamin digunakan untuk
mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan meklizin), insomnia
(difenhidramin), reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan kondisi nonalergi
lainnya.
Lazimnya dengan “ antihistaminika”
selalu dimaksud H-1 blockers. Selain bersifat antihistamin, obat-obat ini juga
memiliki berbagai khasiat lain, yakni daya antikolinergis,antiemetis dan daya
menekan SSP (sedative),dan dapat menyebabkan konstipasi, mata kering, dan
penglihatan kabur, sedangkan beberapa di antaranya memiliki efek antiserotonin
dan local anestesi (lemah).
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis ( oral,injeksi) untuk mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh pembebasan histamine. Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada sejumlah gangguan berikut:
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis ( oral,injeksi) untuk mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh pembebasan histamine. Di samping rhinitis, pollinosis dan alergi makanan/obat, juga banyak digunakan pada sejumlah gangguan berikut:
1.
Asma yang bersifat alergi, guna
menanggulangi gejala bronchokonstriksi. Walaupun kerjanya baik, namun efek
keseluruhannya hanya rendah berhubung tidak berdaya terhadap mediator lain
(leukotrien) yang juga mengakibatkan penciutan bronchi. Ada indikasi bahwa
penggunaan dalam bentuk sediaan inhalasi menghasilkan efek yang lebih baik.
Obat-obat ketotifen dan oksatomida berkhasiat mencegah degranulasi dari
mastcells dan efektif untuk mencegah serangan.
2.
Sengatan serangga khususnya
tawon dan lebah, yang mengandung a.l. histamine dan suatu enzim yang
mengakibatkan pembebasannya dari mastcells. Untuk mendapatkan hasil yang
memuaskan, obat perlu diberikan segera dan sebaiknya melalui injeksi adrenalin
i.m. atau hidrokortison i.v.
3.
Urticaria (kaligata, biduran).
Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya permeabilitas kapiler dan
gatal-gatal, terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti alimemazin
(Nedeltran), azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal mungkin berkaitan pula
dengan efek sedative dan efek anestesi local.
4.
Stimulasi nafsu makan. Untuk
menstimulasi nafsu makan dan dengan demikian menaikkan berat badan, yakni
siproheptadin ( dan turunannya pizotifen) dan oksatomida. Semua zat ini berdaya
antiserotonin.
5.
Sebagai sedativum berdasarkan
dayanya menekan SSP, khususnya prometazin dan difenhidramin serta turunannya.
Obat-obat ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk, sehingga banyak
digunakan dalam sediaan obat batuk popular.
6.
Penyakit Parkinson berdasarkan
daya antikolinergisnya, khususnya difenhidramin dan turunan 4-metilnya
(orfenadrin) yang juga berkhasiat spasmolitis.
7.
Mabuk jalan dan Pusing
(vertigo) berdasarkan efek antiemetisnya yang juga berkaitan dengan khasiat
antikolinergis, terutama siklizin,meklizin dan dimenhidrinat, sedangkan
sinarizin terutama digunakan pada vertigo.
8.
Shock anafilaksis di samping
pemberian adrenalin dan kortikosteroid. selain itu, antihistaminika banyak
digunakan dalam sediaan kombinasi untuk selesma dan flu.
C.
MACAM
Menurut struktur kimianya antihistaminika
dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yang mana sejumlah memiliki rumus dasar
sebagai berikut:
R-X-C-C-N=R1 dan R2. Dimana X = atom O, N atau C; R= gugus aromatic dan/atau heterosiklik, R1 dan R2 = gugus metal atau heterosiklik. Dapat dilihat bahwa inti molekul terdiri atas etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamine. Adakalanya gugus ini merupakan bagian dari suatu struktur siklik, seperti umpamanya pada antazolin dan klemastin, zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.
R-X-C-C-N=R1 dan R2. Dimana X = atom O, N atau C; R= gugus aromatic dan/atau heterosiklik, R1 dan R2 = gugus metal atau heterosiklik. Dapat dilihat bahwa inti molekul terdiri atas etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamine. Adakalanya gugus ini merupakan bagian dari suatu struktur siklik, seperti umpamanya pada antazolin dan klemastin, zat-zat ini berdaya antikolinergik dan sedative agak kuat.
1.
Derivat Etanolamin (X = O)
a.
Difenhidramin : Benadryl
Di samping daya
antikolinergik dan sedative yang kuat, antihistamin ini juga bersifat
spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing). Berguna sebagai obat
tambahan pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat anti-gatal pada
urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.)
Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.
Dosis: oral 4 x sehari 25-50mg, i.v. 10-50mg.
·
2 - Metildifenhidramin =
Orfenadrin (Disipal, G.B.)
Dengan efek
antikolinergik dan sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan
Parkinson dan terhadap gejala-gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan
neuroleptika
Dosis: oral 3 x
sehari 50mg.
·
4 - Metildifenhidramin
(Neo-Benodin®)
Lebih kuat sedikit
dari zat induknya. Digunakan pada keadaan-keadaan alergi pula.
Dosis: 3 x sehari
20-40mg
·
Dimenhidrinat (Dramamine,
Searle)
Adalah senyawa
klorteofilinat dari difenhidramin yang digunakan khusus pada mabuk perjalanan
dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg
Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg
·
Klorfenoksamin (Systral, Astra)
Adalah derivate klor
dan metal, yang antara lain digunakan sebagai obat tambahan pada Penyakit
Parkinson.
Dosis: oral 2-3 x
sehari 20-40mg (klorida), dalam krem 1,5%.
·
Karbinoksamin : (Polistin,
Pharbil)
Adalah derivat
piridil dan klor yang digunakan pada hay fever.
Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).
Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).
b.
Kiemastin: Tavegyl (Sandos)
Memiliki struktur
yang mirip klorfenoksamin, tetapi dengan substituent siklik (pirolidin). Daya
antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya pesat, dalam beberapa menit dan
bertahan lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi permeabilitas dari kapiler
dan efektif guna melawan pruritus alergis (gatal-gatal).
Dosis: oral 2 x
sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.
2.
Derivat Etilendiamin (X=N)
Obat-obat dari
kelompok ini umumnya memiliki data sedative yang lebih ringan.
a.
Antazolin : fenazolin, antistin
(Ciba)
Daya
antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak merangsang selaput lender. Maka
layak digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung
(selesma) sebagai preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-Privine, Ciba).
Dosis: oral 2-4 x
sehari 50-100mg (sulfat).
b.
Tripelenamin (Tripel,
Corsa-Azaron, Organon)
Kini hanya digunakan
sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar sinar matahari,
sengatan serangga, dan lain-lain).
c.
Mepirin (Piranisamin)
Adalah derivate
metoksi dari tripelenamin yang digunakan dalam kombinasi dengan feniramin dan
fenilpropanolamin (Triaminic, Wander) pada hay fever.
Dosis: 2-3 x sehari
25mg.
d.
Klemizol ( Allercur, Schering)
Adalah derivate klor
yang kini hanya digunakan dalam preparat kombinasi anti-selesma (Apracur,
Schering) atau dalam salep/suppositoria anti wasir (Scheriproct, Ultraproct,
Schering).
3.
Derivat Propilamin (X=C)
Obat-obat dari
kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.
a.
Feniramin : Avil (Hoechst)
Zat ini berdaya
antihistamink baik dengan efek meredakan batuk yang cukup baik, maka digunakan
pula dalam obat-obat batuk.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.
Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v. 1-2 x sehari 50mg; krem 1,25%.
·
Klorfenamin (Klorfeniramin.
Dl-, Methyrit, SKF)
Adalah derivate klor
dengan daya 10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya praktis tidak
berubah. Efek-efek sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga
digunakan dalam obat batuk. Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali
lebih kuat daripada bentuk dl (rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin,
Schering).
Dosis: 3-4 x sehari
3-4mg (dl, maleat) atau 3-4 x sehari 2mg
(bentuk-d).
·
Bromfeniramin (komb.Ilvico,
Merck)
Adalah derivate brom
yang sama kuatnya dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan
isomer-levo tidak. Juga digunakan sebagai obat batuk.
Dosis: 3-4 x sehari
3mg (maleat).
b.
Tripolidin : Pro-Actidil
Derivat dengan
rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai kerjanya pesat dan bertahan
lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard).
Dosis: oral 1 x
sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
4.
Derivat Piperazin
Obat-obat kelompok
ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan piperazin. Pada umumnya bersifat
long-acting, lebih dari 10 jam.
a.
Siklizin : Marzine
Mulai kerjanya pesat
dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama digunakan sebagai anti-emetik dan
pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat ini sebaiknya jangan diberikan
pada wanita hamil pada trimester pertama.
·
Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal®)
Adalah derivat
metilfenii dengan efek lebih panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah 1-2
jam. Khusus digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan.
Dosis: oral 3 x
sehari 12,5-25mg.
·
Buklizin (longifene, Syntex)
Adalah derivate siklik
dari klorsiklizin dengan long-acting dan mungkin efek antiserotonin. Disamping
anti-emetik,juga digunakan sebagai obat anti pruritus dan untuk menstimulasi
nafsu makan.
Dosis: oral 1-2 x
sehari 25-50mg.
·
Homoklorsiklizin (homoclomin,
eisai)
Berdaya
antiserotonin dan dianjurkan pada pruritus yang bersifat alergi.
Dosis: oral 1-3 x
sehari 10mg.
b.
Sinarizin : Sturegon (J&J),
Cinnipirine(KF)
Derivat cinnamyl
dari siklizin ini disamping kerja antihistaminnya juga berdaya vasodilatasi
perifer. Sifat ini berkaitan dengan efek relaksasinya terhadap
arteriol-arteriol perifer dan di otak (betis,kaki-tangan) yang disebabkan oleh
penghambatan masuknya ion-Ca kedalam sel otot polos. Mulai kerjanya agak cepat
dan bertahan 6-8 jam, efek sedatifnya ringan. Banyak digunakan sebagai obat
pusing-pusing dan kuping berdengung (vertigo, tinnitus).
Dosis: oral 2-3 x
sehari 25-50mg.
·
Flunarizin (Sibelium, Jansen)
Adalah derivat
difluor dengan daya antihistamin lemah. Sebagai antagonis-kalsium daya
vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula pada vertigo dan sebagai pencegah migran.
5.
Derivat Fenotiazin
Senyawa-senyawa
trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu
kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek neuroleptik.
a.
Prometazin: (Phenergan (R.P.)
Antihistamin tertua
ini (1949) digunakan pada reaksi-reaksi alergi akibat serangga dan
tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah mual dan mabuk jalan.
Selain itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai sedativum pada
batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada anak-anak. Efek samping yang umum
adalah kadang-kadang dapat terjadi hipotensi,hipotermia(suhu badan rendah), dan
efek-efek darah (leucopenia, agranulocytosis)
Dosis: oral 3 x
sehari 25-50mg sebaiknya dimulai pada malam hari; i.m. 50mg.
·
Tiazinamium (Multergan, R.P.)
Adalah derivat
N-metil dengan efek antikolinergik kuat, dahulu sering digunakan pada terapi
pemeliharaan terhadap asma.
·
Oksomemazin (Doxergan, R.P.)
Adalah derivat
di-oksi (pada atom-S) dengan kerja dan penggunaan sama dengan prometazin,
antara lain dalam obat batuk.
Dosis: oral 2-3 x
sehari 10mg.
·
Alimemazin (Nedeltran®)
Adalah analog etil
denagn efek antiserotonin dan daya neuroleptik cukup baik. Digunakan sebagai
obat untuk menidurkan anak-anak, adakalanya juga pada psikosis ringan.
Dosis: oral 3-4 x
sehari 10mg.
·
Fonazin (Dimetiotiazin)
Adalah derivat
sulfonamida dengan efek antiserotonin kuat yang dianjurkan pada terapi interval
migraine.
Dosis: oral 3-4 x
sehari 10mg.
b.
Isotipendil: Andantol (Homburg)
Derivat aso-fenotiazin
ini kerjanya pendek dari prometazin dengan efek sedatif lebih ringan.
Dosis: ora; 3-4 x
sehari 4-8mg, i.m. atau i.v. 10mg.
·
Mequitazin (Mircol, ACP)
Adalah derivat
prometazin dengan rantai sisi heterosiklik yang mulai kerjanya cepat, efek-efek
neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay fever, urticaria dan
reaksi-reaksi alergi lainnya.
Dosis: oral 2 x
sehari 5mg.
·
Meltidazin (Ticaryl, M.J.)
Adalah derivat
heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek antiserotonin kuat. Terutama
dianjurkan pada urticaria.
Dosis: oral 2 x
sehari 8mg.
Sewaktu diketahui
bahwa histamine mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan
obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epinefrin merupakan antagonis
faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus
antihistamin ditemukan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda.
Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus terapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus terapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin. Antihistamin tersebut di atas digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).
D.
ANTAGONISME TERHADAP HISTAMIN AH1
Menghambat efek histamine pada pembuluh
darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan
histamine endogen berlebihan.
Otot
polos: secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada otot polos
(usus,bronkus). Permeabilitas kapiler: peninggian permeabilitas kapiler dan
udem akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi
anafilaksis dan alergi: reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter
terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang berperan tetapi
autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar
eksokrin: efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak
dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi
kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Susunan
saraf pusat: AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang
kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan
eksitasi. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala
misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat.
Antihistamin
yang relative baru misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit
menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak
menyebabkan kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP. AH1 juga
efektif untuk mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab
lain.
E.
FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1
diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan
maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal
kira-kira 4-6 jam, untuk golongan klorsiklizin 8-12 jam. Difenhidramin yang
diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah
kira-kira 2 jam dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya,
kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru
sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah.
Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru
dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi sedangkan
klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui
urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.
Anestesi lokal: beberapa AH1 bersifat
anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anestesi lokal
ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut
dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik: banyak AH1 bersifat mirip
atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini
dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan
impotensi. Sistem kardiovaskular: dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan
efek yang berarti pada system kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat
seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.
F.
EFEK SAMPING
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan
efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila
pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru
menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak
tidur.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek
sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, penglihatan
kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor. Efek samping yang
termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian
oral, tetapi lebih sering terjadi akibat penggunaan lokal berupa dermatitis
alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah dilaporkan terjadi. Selain itu
pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat
ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang
interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasien
dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang peka terhadap
terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia). Kemungkinan
adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative dengan
terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
G.
INTOKSIKASI AKUT AH1
Keracunan akut AH1 terjadi karena obat
golongan ini sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada
anak, keracunan terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat
usaha bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek
sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pda anak kecil efek yang dominan
ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi, ataksia,
inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai tremor dan
pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan
atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka dan sering pula timbul demam.
Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul
kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya
berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih
lanjut.
H.
PENGOBATAN
Pengobatan diberikan secara
simtomatik dan suportif karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh
AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak
mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat dipertahankan secara
baik. Bila terjadi gagal napas, maka dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih
baik daripada memberikan analeptic yang justru akan mempermudah timbulnya
konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan thiopental atau diazepam.
I.
PERHATIAN
Sopir atau pekerja yang memerlukan
kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan
timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan dengan
hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol, obat penenang atau
hipnotik sedative.
Sumber : Yolanda, Arinta. 2011. Farmakologi
Obat Antihistamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar